Karena Rajin Sholat Subuh di Masjid, TKI Ini dapat Rumah Warisan dari Warga Arab Saudi
Jangankan membayangkan, mendengarnya saja mungkin sudah cukup membuat takut. Ya, seiring dengan meningkatnya angka kasus kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh orang Arab Saudi terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) membuat stigma buruk itu muncul.
Pada akhirnya, orang-orang Arab Saudi dikaitkan dengan image kasar dan sadis. Tapi yang perlu digaris bawahi di sini ialah, tidak semua orang Arab Saudi berlaku demikian.
Masih banyak terdapat orang berhati baik dan mulia, salah satunya seorang kakek yang tak diketahui namanya ini.
Dia baru saja memberikan rumah warisan kepada seorang TKI di Jeddah, bernama Alman Mulyana.
Padahal, Alman bukanlah orang yang dikenalnya sejak lama atau pun bekerja untuknya. Mereka hanya kerap dipertemukan di dalam masjid saat menunaikan ibadah di sana. Namun karena alasan ketaatan Alman lah yang mendorong dirinya untuk memberikan rumah secara cuma-cuma.
“Jadi ceritanya, ketemunya sama kakek itu luar biasa waktu saya kerja jadi sopir pribadi. Saya salat subuh itu sebelum adzan, saya sudah di Masjid. Dan kakek itu perhatiin saya terus, ‘Ini anak sebelum adzan kok sudah ada terus’ gitu. Dan saking lamanya bertahun-tahun, mungkin ada jarak setahun setengah si kakek baru nyapa. Kan dilihat dari luar itu kaya sombong loh kakek tuh, pertamanya,” Alman menceritakan awal mula pertemuannya dengan sang kakek dalam channel YouTube Muhammad Sofi AW, dilansir Merdeka.com.
“Saya baru ini disalam duluan sama orang Arab. Saya bilang kontrakan saya jauh dan ke masjid saya jalan kaki. ‘MashaAllah’ (kata kakek), sudah segitu. Terus setiap hari salah subuh ngobrol sampai jam setengah enam kadang ya. Dan ujung-ujungnya kakek itu menawarkan diri ke saya. Menawarkan jasa gitu katanya gini, ‘Kamu jangan utang (sewa) rumah. Kamu tinggal saja di rumah saya’. Saya tolak langsung mentah-mentah, saya enggak sangka dikasih rumah segede gini. Kirain tuh kamar sepetak, kamar sopir. Dan ternyata saya dikasih ini tuh sebenarnya panjang ke sana,” ia melanjutkan cerita.
Meski sempat terjadi penolakan di awal, Alman akhirnya bersedia menerima pemberian sang kakek. Namun dengan perjanjian, rumah itu dikontrakan, bukan diberikan secara cuma-cuma.
“‘Kamu kuat berapa bayar kontrakan?’ (kata si kakek), 1000 saja sudah kemahalan saya bilang. ‘Ya sudah se punyanya saja’, akhirnya saya kontrak 800 rumah ini. Segede gini 800, sudah tinggal pakai fasilitas,” kata Alman.
Ternyata, selain menyimpan kekaguman pada keimanan dan ketaatan Alman, sang kakek juga merasa dan menganggap Alman seperti anaknya.
“‘Saya suka sama kamu tuh seperti ke anak saya. MashaAllah kamu setiap subuh sudah ada, sebelum adzan subuh sudah ada di Masjid. Dan saya enggak punya anak’. Dan akhirnya saya dengan segala kerendahan hati menghargai niat baik sang kakek,” tutup Alman.